Jumat, 02 Mei 2014

Siang hari setelah tes matematika.

Pensil itu tergeletak. Kertas-kertas itu sedari tadi membisu.
Hari ini, setelah menempuh tes matematika, saya termenung. Bertanya, memberontak.

Ini konyol.
Saya tidak suka matematika. Tidak masalah. Setiap orang memiliki hak untuk itu. Namun hari ini, saya makin tidak suka, saya benci. Bukan dengan angka bervariabel atau pecahan yang menjengkelkan, pun soal yang tak kunjung saya temukan jawabannya meski coretan angka telah memenuhi meja saya.
 

Yang saya benci, diri saya telah menjadi 'alat' yang sempurna.

Harusnya saya tidak perlu menangis karena sepertiga dari tes saya diisi dengan jawaban asal. Saya tidak perlu stress memikirkan angka yang akan tertera di rapot. Saya tak perlu kesal, memikirkan peringkat saya yang akan turun nantinya. Memikirkan angka 6, 7, dan 5 atau 4 bahkan 3 yang akan muncul di kertas tes saya.


Harusnya saya tak perlu kecewa karena gagal menjadi 'benda' yang unggul.

Sesungguhnya saya manusia yang sudah lama mati. Tertimbun bersama impian dan harapan saya. Saya adalah 'benda' yang terobsesi dengan kesempurnaan. Memproduksi angka 10, 9, dan 8. Terus seperti itu sampai akhirnya pada angka 6, saat itulah saya mendapat predikat 'alat' cacat. Semua mengalir, tanpa sadar, tak terasa, namun terjadi.

Saya memberontak. Saya menolak. Meski harus menantang dunia ini, saya melawan. Saya hidup bukan untuk menjadi 'alat' yang paling unggul dan sempurna diantara alat lainnya.


Saya hidup untuk mempertahankan diri saya sebagai satu-satunya manusia diantara alat-alat itu.

1 komentar: